15 Januari 2016

Strategi Pemerintah Jokowi Kurangi Tingkat Kemiskinan (Tugas 2)



Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mematok tingkat kemiskinan di kisaran 9 persen-10 persen dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 atau turun dari target 10,3 persen di APBN-P 2015. Untuk menekan jumlah orang miskin di Indonesia, pemerintah menyiapkan sejumlah strategi.


Deputi Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan dan UKM Bappenas Rahma Iryanti memasukkan target pembangunan atau indikator kesejahteraan dalam RAPBN 2016, meliputi tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran dan rasio ketimpangan pendapatan (gini ratio).

Rahma menyebut, tingkat kemiskinan ditargetkan merosot menjadi 9 persen sampai 10 persen pada 2016. Gini ratio dipatok 0,39 dan tingkat pengangguran terbuka menurun jadi 5,2 persen. Sedangkan tingkat kemiskinan di APBN-P 2015 disepakati di level 10,3 persen, tingkat pengangguran 5,6 persen dan gini ratio turun 0,40. "Kita menjaga supaya penduduk miskin tidak semakin jatuh ke bawah garis kemiskinan melalui pengembangan hidup berkelanjutan. Mendorong penciptaan lapangan kerja dan memberdayakan UMKM serta koperasi," ucap dia saat Rapat Panja Pemerataan Pembangunan antara pemerintah dan Banggar di Gedung DPR, Jakarta, Senin (22/6/2015).

Rahma menambahkan, pemerintah sudah mempunyai program prioritas untuk mencapai sasaran target pembangunan tersebut. Meliputi program mengurangi beban penduduk miskin, bantuan tunai bersyarat atau Program Keluarga Harapan (PKH), penyediaan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).  "Memperbaiki kebijakan penyaluran raskin, penyediaan layanan kesehatan bagi warga kurang mampu lewat Kartu Indonesia Sejahtera (KIS), beasiswa bagi 21 juta siswa kurang mampu melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP), upaya program SJSN Ketenagakerjaan yang efektif per 1 Juli 2015," jelas Rahma.

Strategi lain, lanjut dia, pembangunan masyarakat desa di 499 kecamatan, pemberian beasiswa kepada 75 ribu mahasiswa, 221 ribu beasiswa dalam program Bidik Misi, 25 ribu Bidik Misi on going Perguruan Tinggi Swasta dan pengembangan perumahan dengan sasaran 550 ribu unit rumah susun. "Yang perlu dilakukan memperbaiki regulasi penanggulangan kemiskinan, perbaikan kebijakan penyaluran bansos dan pemberdayaan masyarakat termasuk beberapa regulasi lain soal jaminan sosial nasional per 1 Juli," terang Rahma.
Pemerintah Jokowi, sambungnya, juga akan mempertahankan daya beli penduduk miskin agar tidak semakin jatuh ke bawah garis kemiskinan. Rahma mengaku, ada 5.300 kecamatan akan difasilitasi dana amanah, memberi stimulan rumah kepada keluarga fakir miskin, memberdayakan nelayan dengan target sasaran 200 kampung nelayan dan petani. (Fik/Ahm)


NERACA
Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Armida Alisjahbana menuturkan, memasuki awal 2015 nanti, pemerintah di bawah kepemimpinan presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta fokus pada persoalan pengentasan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT).Armida menjelaskan, pengangguran terbuka sudah mengalami penurunan di tahun terakhir pemerintahan SBY. Dari 6,17 persen di Agustus 2013 menjadi 5,94 persen di Agustus 2014.
Dia menyakini, penuntasan persoalan pengangguran menjadi kunci mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasional."Tahun 2015 merupakan tahun pertama yang diharapkan betul-betul bisa total memperhatikan penciptaan kesempatan kerja, artinya pemerintah harus bisa menjalankan visi misinya," tegas Armida di Jakarta, Kamis (4/12).
Sebelumnya Armida juga mengutarakan efektivitas kebijakan dan program pengentasan kemiskinan akan ditingkatkan pada pemerintahan yang baru. Peningkatan ini dilakukan berdasarkan pengalaman dan evaluasi pemerintah menurunkan angka kemiskinan dalam sepuluh tahun terakhir.
Menurut Data Pencapaian Kinerja Pembangunan Kabinet Indonesia Bersatu I dan II, pada 2013, jumlah penduduk miskin berhasil diturunkan menjadi 28,1 juta (11,4 persen), lebih rendah dari tahun 2004 yang masih 36,1 juta (16,7 persen). Penurunan ini terjadi saat perekonomian global dan domestik mengalami perlambatan. Karena itu, pemerintah akan mengefektifkan kembali program yang sudah ada. “Pengentasan kemiskinan ini ada program-program yang pro rakyat, bantuan dan perlindungan sosial, sudah ada cetak biru transportasi, dan perlindungan sosial. Mengentaskan kemiskinan ini jangka panjang,” ujarnya.
Dalam RPJMN ketiga itu, transformasi dilakukan pada program penanggulangan kemiskinan Klaster I berupa bantuan dan perlindungan sosial. Klaster ini diantaranya meliputi Bantuan Siswa Miskin (BSM), Jaminan Kesehatan Masyarakat, beras untuk masyarakat miskin (raskin), Program Keluarga Harapan (PKH), dan program kompensasi bersifat sementara. Program BSM, misalnya, akan diperluas cakupannya termasuk kemudahan administrasi bagi penerima BSM di pelosok daerah. “Penyaluran BSM ini kerjasama dengan BPD-BPD (Bank Pembangunan Daerah), dan bertahap,” tuturnya.
Sementara, kelanjutan penanggulangan kemiskinan Klaster II yakni Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri bergantung pada presiden yang baru. “Prinsipnya ini program bagus dan basisnya masyarakat. Kalau kunjungan ke daerah itu banyak yang minta PNPM tetap dipertahankan karena bagus,” ujarnya.
Klaster III penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan Usaha Ekonomi Mikro dan Kecil masih belum optimal menjangkau sektor hulu pertanian, perikanan, hingga industri kecil. Masih tingginya potensi penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) ini maka tahun 2014 penyaluran KUR ditargetkan meningkat dari sebelumnya Rp32 triliun menjadi Rp40 triliun.
Dengan efektifitas kebijakan program penanggulangan kemiskinan ini maka pada 2015-2019 pertumbuhan ekonomi bisa terus berada di atas enam persen, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita masyarakat ditarget mencapai US$7.000, dan tingkat kemiskinan 6-8 persen. Sedangkan pada RPJMN keempat periode 2019-2025, PDB per kapita masyarakat ditarget bisa di atas US$12.000 per tahun atau minimal mencapai batas negara berpendapatan menengah, dan tingkat kemiskinan 4-5 persen. “Akhir RPJMN keempat, menurut undang-undang, kemiskinan dan pengangguran harus kurang dari 5 persen untuk menuju ke situ maka perlu merumuskan program lima tahun ke depan,” ujarnya.
Armida menambahkan, dengan program pengentasan kemiskinan yang sudah ada maka koefisien gini (gini ratio) atau ketimpangan distribusi pendapatan dipastikan berkurang. Saat ini koefisien gini masih berada pada tahap ketimpangan menengah di angka 0,41. Gejolak perekonomian global dan domestik menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan terjadi di Indonesia.
Pengamat Sosiologi Pedesaan yang juga Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Pengembangan Sumberdaya Insani, Alam, Lingkungan (SPASIAL) Muliadi Saleh mengatakan perlu perbaikan dan pembangunan infrastruktur dasar untuk mengentaskan kemiskinan di daerah pedesaan Sulawesi Selatan (Sulsel).
"Perlu pembangunan dan perbaikan infrastruktur dasar di wilayah pedesaan, ini penting karena salah satu penyebab kemiskinan adalah terputusnya akses masyarakat terhadap berbagai layanan publik," kata Muliadi seperti dilansir kantor berita Antara, kemarin.
Pembangunan dan perbaikan infrastruktur dasar seperti jalan dan jembatan, akan memudahkan masyarakat memperoleh akses pelayanan publik dasar seperti pendidikan dan kesehatan yang akan membantu masyarakat terlepas dari kemiskinan. "Akses lain yang dibutuhkan misalnya akses permodalan ke perbankan," tambahnya.
Menurut Muliadi, terdapat berbagai faktor yang dapat menyebabkan kemiskinan, antara lain secara alamiah karena faktor lingkungan, maupun kemiskinan struktural. "Secara alamiah, faktor lingkungan terjadi pada daerah-daerah yang miskin sumber daya alam, seperti Kabupaten Jeneponto," ujarnya mencontohkan.
Sementara kemiskinan struktural terjadi karena desa belum menjadi pengambil keputusan utama dalam kegiatan pembangunan. Dengan demikian, sering kali, apa yang menjadi kepentingan masyarakat desa justru tidak terakomodir.
Sebelumnya, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar menilai kesenjangan sosial ekonomi masyarakat kota dan desa masih sangat timpang. Hal ini yang mendorong arus urbanisasi terus terjadi. Jika dibiarkan, ada kekhawatiran desa akan ditinggalkan oleh penduduknya.
Ia mengatakan, ketimpangan antara kota dan desa ini merupakan masalah serius yang dihadapi pemerintah saat ini. Dalam catatan Kementerian Desa, pada tahun 1980-an sekitar 78 persen jumlah penduduk Indonesia tinggal di pedesaan. Namun saat ini jumlah penduduk yang tinggal kota dan desa hampir berimbang.Jumlah penduduk yang tinggal di desa saat ini hanya tinggal 50,2 persen. Sisanya 49,8 persen sudah tinggal di kota. "Jika tren urbanisasi ini dibiarkan, maka diperkirakan tahun 2025 nanti sekitar 65 persen penduduk Indonesia akan berada di kota," kata Marwan.
Menurutnya, kemiskinan jadi penyebab utama urbanisasi ini. Tahun lalu, persentase penduduk desa yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah sebesar 13,8 persen. Sementara penduduk kota berjumlah lebih kecil yaitu 8,2 persen.Tingkat kemiskinan di desa, menurut Marwan, jauh lebih dalam dan lebih parah dibandingkan di kota. Hal ini digambarkandengan Indeks Kedalaman Kemiskinan di kota mencapai 1,25, sementara di desa jauh lebih besar yaitu sebesar 2,24. "Semakin tinggi nilai indeks ini artinya semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan," kata Marwan.
Kemiskinan adalah masalah yang sangat penting untuk diatasi oleh Indonesia maupun Negara lain, tingkat kemiskinan merupakan salah satu tolak ukur penilaian bagi sebuah Negara apakah Negara itu makmur dan sejahtera atau tidak, semakin tinggi tingkat kemiskinan maka Negara itu dapat dikatakan belum makmur begitupun sebaliknya semakin rendah tingkat kemiskinan suatu Negara, maka semakin makmur dan sejahtera Negara tersebut. Setiap Negara mempunyai cara masing-masing dalam mengatasi masalah kemiskinan di dalam negaranya, begitupun dengan Negara Indonesia. Inilah beberapa kebijakan yang pemerintah ambil dalam mengatasi kemiskinan.


Tingkat Kemiskinan
             Tingkat kemiskinan pada tahun ini diprediksi akan lebih tinggi dibandingkan target pemerintah yakni sebesar 10,5 persen. Salah satu penyebabnya adalah shock akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di pekan ketiga Juni 2013."Nanti September BPS akan merilis survei.  Berapa jumlahnya, saya kurang tahu persis. Mungkin ada tambahan satu sampai dua persen (jumlah penduduk miskin)," ujar Anggota Komisi XI DPR RI Arif Budimanta, Ahad (18/8). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin per Maret 2013 mencapai 28,07 juta atau 11,37 persen dari total penduduk Indonesia. Angka tersebut mengalami penurunan 0,52 juta dibandingkan dengan penduduk miskin per September 2012 sebesar 28,59 juta (11,66) persen. 
Beberapa faktor penyebab turunnya angka kemiskinan antara lain inflasi berdasarkan komponen umum secara kumulatif relatif rendah, upah harian nominal buruh tani dan bangunan yang meningkat serta stabilnya harga beras. Secara keseluruhan garis kemiskinan meningkat dari Rp 259.520 per kapita per bulan pada September 2012 menjadi Rp 271.626 per kapita per bulan pada Maret 2013. Selama periode September 2012-Maret 2013, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,18 juta orang (dari 10,51 juta pada September 2012 menjadi 10,33 juta pada Maret 2013). 
Sedangkan di daerah pedesaan berkurang 0,35 juta (dari 18,09 juta pada September 2012 menjadi 17,74 juta pada Maret 2013). Berturut-turut, pada 2009, BPS mencatat jumlah penduduk miskin 32,53 juta atau 14,15 persen, kemudian pada 2010 31,02 juta atau 13,33 persen, Maret 2011 30,02 juta atau 12,49 persen, September 2011 29,89 juta atau 12,36 persen dan Maret 2012 29,13 juta atau 11,96 persen. 
Dengan tingginya inflasi beberapa bulan belakangan, Arif memperkirakan tingkat kemiskinan akan berada di atas 12 persen. Terkait target pemerintah yakni 10,5 persen, Arif menilai itu adalah batas atas di mana batas bawahnya adalah 8,0 persen. "Tanpa kerja apa-apa juga trennya memang seperti itu penurunan kemiskinannya. Jadi, tak ada extra effort yang dilakukan. Artinya apa? seluruh stimulus dari proses kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah selama ini tak memberikan efek elastisitas yang tinggi terhadap penurunan kemiskinan dari setiap proses pertumbuhan yang ada," kata Arif. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Salsiah Alisjahbana mengakui dengan tingkat kemiskinan per Maret 2013 yang mencapai 11,37 persen, target akhir tahun ini 10,5 persen memang berat untuk dicapai.Salah satu pemicunya adalah lonjakan harga sejumlah kebutuhan yang berujung pada tingkat inflasi tinggi.  "Tapi kita best effort," ujar Armida seraya menyebut terdapat sejumlah program seperti raskin, BLSM hingga BSM untuk membantu keluarga miskin.


Kebijakan Pemerintah
         Untuk mengatasi masalah kemiskinan, pemerintah memiliki peran yang besar. Namun dalam kenyataannya, program yang dijalankan oleh pemerintah belum mampu menyentuh pokok yang menimbulkan masalah kemiskinan ini. Ada beberapa program pemerintah yang sudah dijalankan dan dimaksudkan sebagai solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan ini. Seperti di antaranya adalah program Bantuan Langsung Tunai yang merupakan kompensasi yang diberikan usai penghapusan subsidi minyak tanah dan program konversi bahan bakar gas. Selain itu ada juga pelaksanaan bantuan di bidang kesehatan yaitu jaminan kesehatan masyarakat atau Jamkesnas. Namun kedua hal tersebut tidak memiliki dampak signifikan terhadap pengurangan angka kemiskinan. Bahkan beberapa pakar kebijakan negara menganggap, bahwa hal tersebut sudah seharusnya dilakukan pemerintah. Baik ada atau tidak ada masalah kemiskinan di indonesia. Negara wajib menyediakan jaminan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang dasar 1945.


Perekonomian Indonesia pada masa Pemerintahan SBY
Pada pemerintahan SBY kebijakan yang dilakukan adalah mengurangi subsidi Negara Indonesia, atau menaikkan harga Bahan Bahan Minyak (BBM), kebijakan bantuan langsung tunai kepada rakyat miskin akan tetapi bantuan tersebut diberhentikan sampai pada tangan rakyat atau masyarakat yang membutuhkan, kebijakan menyalurkan bantuan dana BOS kepada sarana pendidikan yang ada di Negara Indonesia. Akan tetapi pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam perekonomian Indonesia terdapat masalah dalam kasus Bank Century yang sampai saat ini belum terselesaikan bahkan sampai mengeluarkan biaya 93 miliar untuk menyelesaikan kasus Bank Century ini.
Kondisi perekonomian pada masa pemerintahan SBY mengalami perkembangan yang sangat baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh pesat di tahun 2010 seiring pemulihan ekonomi dunia pasca krisis global yang terjadi sepanjang 2008 hingga 2009.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 5,5-6 persen pada 2010 dan meningkat menjadi 6-6,5 persen pada 2011. Dengan demikian prospek ekonomi Indonesia akan lebih baik dari perkiraan semula.
Sementara itu, pemulihan ekonomi global berdampak positif terhadap perkembangan sektor eksternal perekonomian Indonesia. Kinerja ekspor nonmigas Indonesia yang pada triwulan IV-2009 mencatat pertumbuhan cukup tinggi yakni mencapai sekitar 17 persen dan masih berlanjut pada Januari 2010.
Salah satu penyebab utama kesuksesan perekonomian Indonesia adalah efektifnya kebijakan pemerintah yang berfokus pada disiplin fiskal yang tinggi dan pengurangan utang Negara.Perkembangan yang terjadi dalam lima tahun terakhir membawa perubahan yang signifikan terhadap persepsi dunia mengenai Indonesia. Namun masalah-masalah besar lain masih tetap ada. Pertama, pertumbuhan makroekonomi yang pesat belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat secara menyeluruh. Walaupun Jakarta identik dengan vitalitas ekonominya yang tinggi dan kota-kota besar lain di Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat, masih banyak warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Tingkat pertumbuhan ekonomi periode 2005-2007 yang dikelola pemerintahan SBY-JK relatif lebih baik dibanding pemerintahan selama era reformasi dan rata-rata pemerintahan Soeharto (1990-1997) yang pertumbuhan ekonominya sekitar 5%. Tetapi, dibanding kinerja Soeharto selama 32 tahun yang pertumbuhan ekonominya sekitar 7%, kinerja pertumbuhan ekonomi SBY-JK masih perlu peningkatan. Pertumbuhan ekonomi era Soeharto tertinggi terjadi pada tahun 1980 dengan angka 9,9%. Rata-rata pertumbuhan ekonomi pemerintahan SBY-JK selama lima tahun menjadi 6,4%, angka yang mendekati target 6,6%.

Sumber :